Category Archives: Broken

Larut Lebur

When everything feels like the movie,

yeah, you bleed just to know you’re alive….

Iris – Goo Goo Dolls

Darah menetes turun, tapi tubuh ini tidak terluka. Tak ada luka yang menganga, tapi darah tetap menetes. Darah itu menetes dari luka tak kasat mata. Dari lubang yang menganga di jiwaku. Aku memejamkan mata. Menikmati rasa sakit yang seolah tak kunjung mau hilang. Ya, nikmati saja selagi bisa. Karena rasa sakit itu membuktikan bahwa aku masih hidup. Masih seorang manusia yang punya rasa. Entah sampai kapan…. aku tak tahu. Maka nikmati saja semuanya.

Kontemplasi demi kontemplasi telah dilakukan. Tak guna menebar murka karena tak ada yang bisa memutar kembali tangan waktu dan menghapus masa lalu. Hanya ada pembelajaran tentang cinta, tentang kepercayaan, tentang kesepian, tentang kebutuhan, tentang pembenaran, tentang kehampaan, tentang menerima, tentang patah hati, tentang kehancuran, tentang tersenyum dalam kemarahan, tentang kekecewaan, tentang tertawa dalam kepedihan. Tentang segalanya…

Yang pertama adalah penyangkalan. Lalu setelah itu kemarahan datang disusul dengan tawar-menawar. Kemudian depresi dan frustrasi menerangsek masuk sebelum akhirnya aku bisa menerima. Aku melebur dengan semua rasa yang tersisa. Melarutkan diri dalam kemarahan, kekecewaan dan kesedihan, tapi pada saat yang sama aku menerima semuanya. Menyadari bahwa marahku hanyalah untukku. Kesedihanku hanyalah untukku. Dan kekecewaanku hanya untukku. Tidak untuk dibagi dengan siapapun karena sebenarnya aku lah yang paling bersalah di antara semuanya. Aku bersalah karena aku terlalu percaya bahwa kamu tak akan pernah mencoba menyakitiku…. Aku terlalu naif.

Larutlah…. meleburlah semua agar menyatu di dalam jiwaku… Darah itu masih terus menetes deras…. tapi setidaknya bibirku mengukir senyuman…. Ada namamu di setiap tetes yang terjatuh, karena itu lah aku tersenyum. Mungkin aku sado masochist yang bisa mendapatkan kenikmatan dari rasa sakit. Ini rasa sakitku, hanya untukku dan hanya aku yang bisa menikmatinya. Larut… Lebur… Nikmati saja selagi bisa…

Aku Selalu Tahu…

Aku selalu tahu apa yang kamu lakukan di belakangku. Bahkan kadang aku tahu sebelum semuanya terjadi. Tak jarang aku mencoba memperingatkanmu, tapi argumenku tak valid tanpa bukti yang jelas. Maka kamu anggap aku mengada-ada. Kamu tahu bahwa aku akan selalu tahu, tapi mengapa kamu masih lakukan juga? Aku tak paham…. “Aku kesepian. Aku rindu kamu dan aku melihat kamu di dirinya…” begitu katamu. Sayangku, dia bukanlah aku dan aku bukan dia. Jadi tak perlu omong kosong tentang ‘melihatmu di dirinya’ itu kamu lemparkan padaku. Maaf, sayang… argumenmu tak valid.

Aku tak suka kepalaku dipenuhi dengan pikiran-pikiran tak menentu. Aku ingin validasi! Namun sungguh menggelikan ketika validasi telah kamu berikan dan semua kecurigaanku ternyata terbukti, bukan kepuasan yang aku rasakan. Yang tersisa hanya rasa sakit yang mendalam. Lalu aku tersadar…. sudah lama sekali aku tak merasakan sakit yang seperti ini! Aku bahkan hampir percaya bahwa aku tak akan pernah lagi merasakan sakit yang ini…. Dan yang terutama, aku tak pernah menyangka bahwa kamulah yang akan membuatku merasai lagi sakit yang seperti ini. Ah, sayang…. kamu sudah menyakitiku dan mengecewakanku. Kamu dan dia. Kalian berkonspirasi untuk menyakitiku. Manisnya sebuah pengkhianatan… Pahitnya sebuah kejujuran dan kebenaran…. Dan mahalnya harga untuk sederet intuisi dan firasat…

Aku selalu tahu. Bahkan sebelum semuanya terjadi, aku sudah tahu. Aku hanya tak tahu bagaimana caranya meyakinkanmu bahwa aku selalu tahu. Mungkin dengan begini, sekarang kamu semakin tahu bahwa aku selalu tahu. Mungkin memang aku harus tersakiti dulu agar kamu bisa mengerti bahwa aku selalu tahu dan akan selalu tahu bagaimana pun caranya… Tak guna kalian sembunyikan. Maka tak salah, bukan jika dalam pikiranku aku sudah membunuh kalian berdua berkali-kali….?

“Kamu boleh membunuhku, jika itu membuatmu puas…” begitu katamu tadi. Ah, sayangku…. kematian terlalu mudah bagi kalian berdua. Tidak. Aku tidak ingin membunuh kalian. Aku tidak ingin kalian mati. Tidak sekarang…. Tidak sebelum kalian merasakan sakit yang aku rasakan dulu untuk beberapa lama. Biarkan jiwa-jiwa kalian melapuk digerogoti rasa bersalah. Biarkan mata-mata kalian tak sanggup menatap langsung ke dalam bola mataku. Biarkan…. biarkan waktu yang membunuh kalian, bukan aku. Sederhana bukan?

Betrayal never comes from your enemies… – such a sad fact!

Di Belakangku

Aku tak bisa menahan apa yang terjadi di belakangku. Ketika kamu dan dia duduk berdua di puncak bukit sambil berbagi cerita. Membiarkan aku yang diselimuti rindu terkurung dalam kabut untuk kemudian ditepis menjauh begitu saja. Lalu aku dengar puja pujimu tentangnya yang begitu sempurna namun begitu rapuh. Aku juga mendengar puja pujinya tentangmu yang dianggapnya begitu meneduhkan jiwanya yang gelisah. Aku hanya bisa duduk di sudut ini dan memperhatikan semuanya berlalu di hadapanku tanpa bisa berbuat apa-apa.

Aku tak bisa mengendalikan apa yang terjadi di belakangku. Ketika mereka saling merengkuh pinggang, berdalih saling menguatkan. Lalu aku dengar celoteh mereka tentang rasa, tentang hati, tentang pertemanan, tentang sesuatu yang tersembunyi, tentang mimpi, tentang segalanya yang tak ingin aku ketahui. Aku hanya bisa menutup kedua telingaku dan berharap semuanya segera usai. Berharap hening segera kembali memenuhi ruangan.

Aku tak bisa menentukan apa yang terjadi di belakangku. Ketika kalian saling mencurahkan isi hati, lalu menangis di bahu masing-masing sambil saling berdekapan erat. Lalu aku mendengar kalimat-kalimat yang meluncur keluar dari mulutmu untuknya untuk meneduhkan jiwanya yang gundah. Aku juga mendengar kalimat-kalimat yang meluncur keluar dari bibirnya ketika memuji betapa kamulah satu-satunya yang bisa mengerti dirinya seutuhnya. Aku hanya bisa memalingkan wajah dan membiarkan semuanya terjadi tanpa bisa bicara apa-apa.

Aku tak bisa melarang apa yang terjadi di belakangku. Ketika kamu dan dia menghabiskan malam bersama sambil saling bergenggaman tangan dalam hujan gerimis. Lalu aku mendengar betapa kamu ingin menjadi sosok yang akan selalu menghapus air mata yang turun di wajahnya. Aku juga mendengar betapa dia menginginkanmu selalu ada untuk meminjamkan bahumu sebagai tempatnya bersandar ketika hatinya sedih dan jiwanya terasa kosong. Aku hanya bisa diam dan membiarkan semuanya tersampaikan sambil menggenggam erat belati di tanganku. Menunggu….

Frost & Inferno

Api dan embun beku memang tidak bisa disatukan. Mereka tidak bisa saling berdekatan tanpa akhirnya yang satu memusnahkan yang lain. Jika pun tidak saling memusnahkan, api akan mencairkan embun beku atau embun yang akan meredupkan nyala api. Antagonistik. Lalu bagaimana jika mereka ingin bersatu sekedar untuk berdansa bersama di bawah sinar bulan purnama merah jambu? Tentu keduanya harus rela sedikit mencair dan sedikit meredup. Tak boleh ada dominasi. Saling mengerti bahwa pengorbanan yang dilakukan semata-mata agar mereka bisa tetap bersama.  Agar tetap bisa berdansa mengikuti alunan La Vie en Rose dari Lisa Ono. Lalu sekali-sekali saling berjauhan agar keduanya bisa menguatkan diri masing-masing. Berjauhan agar keduanya bisa kembali ke wujud asal yang sempurna. Embun kembali beku dan api kembali menyala sebelum akhirnya saling mendekat lagi. Begitu… begitu… dan begitu terus-menerus tanpa harus ada pertentangan.