Ada belati dengan tetesan darah tergenggam erat di tangannya. Satu demi satu tetes darah itu jatuh ke tanah. Dahiku berkerut sedikit. Darah siapakah itu gerangan? – aku bertanya sendiri dalam hati – Lalu aku tersadar, kita berdua masih tegak berdiri. Hanya Cinta yang tergolek bersimbah darah…
Kamu baru saja membunuh Cinta. “Kenapa?” tanyaku dengan mata merebak penuh air mata. Kamu diam sejenak, seolah memikirkan jawaban yang tepat. “Karena Cinta adalah benda penuh dusta!” kamu berujar sejurus kemudian. Kini ganti aku yang terdiam. Benarkah begitu? – aku membatin. “Kenapa??!!” aku mengulang pertanyaan yang sama dengan suara lebih keras lagi. Kamu menghela nafas panjang, “Karena jika Cinta benar membawa kebahagiaan, kenapa segala sesuatunya harus terasa begitu menyakitkan??” kamu menjawab tak kalah keras. Aku terpana.
Belati di tanganmu terlepas jatuh. Kamu jatuh. Air matamu jatuh. Air mataku jatuh. Hatiku nyaris jatuh ketika tiba-tiba kamu berkata dengan suara sedingin bunga salju, “Jangan jatuhkan hatimu! Simpan saja baik-baik di dalam freezer biar membeku hingga akhir waktu.” Kamu mengusap sisa air mata di pipimu lalu berdiri dan berlalu bersama senja seolah tak terjadi sesuatu apapun. Aku? Ah, aku masih tegak di sini sambil mencoba untuk mengerti apa yang baru saja terjadi.